Teori



1.1.1        Landasan Teori
            Penelitian tentang “Kesantunan  Interogatif  Tuturan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau”, penulis menggunakan beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:
1.1.1.1  Pengertian Pragmatik
            Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca), sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri (Yule,1996:3). Pendapat tentang pragmatik juga dikemukakan oleh Tarigan (2009:30) “Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus, situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka konteks sosial”.
1.1.1.2  Konteks
            Satu hal yang selalu berkaitan dan tidak pernah lepas dari kegiatan bertutur adalah konteks (situasi tuturan). Leech dalam Nadar (2009:6) konteks didefenisikan sebagai “Latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu”. Situasi tuturan dapat juga disebut dengan peristiwa tutur, dalam setiap proses komunikasi terjadilah apa yang disebut peristiwa tutur dalam satu situasi tutur. Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
             Dell Hymes, seorang pakar sosiolingusitik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING.  S (= Setting and scene); P (= Participants); E (= Ends: purpose and goal); A (= Act sequence); K (= Key: tone or spirit of act); I (= Instrumentalities); N (= Norms of interaction and interpretation); G (= Genres). Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan. Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis. Norms of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya (Chaer dan Agustina, 2010:47-49).
1.1.1.3  Aspek tutur
            Leech dalam Nadar (2009:7) mengemukakan, aspek tutur lainnya selain konteks, meliputi penutur dan lawan tutur, tujuan tutur, tuturan sebagai kegiatan tindak tutur, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Terkait dengan aspek tutur penutur dan lawan tutur ditegaskan bahwa lawan tutur atau petutur adalah orang yang menjadi sasaran tuturan dari penutur. Lawan tutur harus dibedakan dari penerima tutur yang bisa saja merupakan orang yang kebetulan lewat dan mendengar pesan, namun bukan orang yang disapa. Tujuan tuturan tidak lain adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu. Tuturan itu sendiri dalam kajian pragmatik memang dapat dipahami sebagai produk suatu tindak tutur.
1.1.1.4  Kalimat Interogatif
            Nadar (2009:72) menyatakan kalimat interogatif sebagai berikut “Kalimat yang isinya menanyakan sesuatu atau seseorang”. Moeliono dalam Nadar (2009:72) jika orang ingin mengetahui jawaban terhadap suatu masalah atau keadaan, maka ia menanyakannya, dan kalimat yang dipakai adalah kalimat tanya. Kalimat tanya yang juga dikenal dengan nama kalimat tanya, secara formal ditandai oleh kehadiran kata tanya seperti apa, siapa, berapa, kapan, dan bagaimana dengan atau tanpa patikel –kah sebagai penegas. Kalimat interogatif diakhiri dengan tanda tanya (?) pada bahasa tulis dan pada bahasa lisan dengan suara naik, terutama jika tidak ada kata tanya atau suara turun (Alwi, 2003:357).
1.1.1.5  Fungsi Menanyakan
Chaer (2010:85) menyatakan bahwa tuturan dengan fungsi menanyakan dilakukan dalam bentuk kalimat bermodus interogatif. Ciri utama kalimat interogatif dalam bahasa Indonesia adalah adanya intonasi naik pada akhir kalimat. Kalau ada intonasi, meskipun kalimatnya tidak lengkap, maka kalimat tersebut sudah sah sebagai kalimat interogatif atau tuturan yang mengemban fungsi menanyakan.
Dilihat dari jawaban yang dikehendaki atau yang diberikan oleh lawan tutur, dibedakan tuturan dengan fungsi menanyakan (interogatif) yang:
1.    Menanyakan meminta pengakuan
Tuturan dengan fungsi menanyakan yang meminta pengakuan atau jawaban “ya” atau “tidak”, atau “ya” atau “bukan” dari seorang penutur kepada lawan tutur dilakukan dalam bentuk kalimat bermodus interogatif.
Contoh tuturan (22) dari atas ke bawah yang semakin ke bawah semakin santun.
(22)      - Tetanggamu ditahan KPK?
            - Apa tetanggamu ditahan KPK?
            - Apakah tetanggamu ditahan KPK?
            - Kudengar tetanggamu ditahan KPK, apa benar?

2. Menanyakan meminta keterangan
Tuturan dengan fungsi menanyakan yang meminta keterangan akan benda atau hal yang ditanyakan oleh seorang penutur kepada lawan tutur dilakukan dalam bentuk kalimat bermodus interogatif. Dalam hal ini digunakan kata tanya apa untuk menanyakan benda atau hal, digunakan kata tanya siapa untuk menanyakan orang, digunakan kata tanya berapa untuk menanyakan jumlah, digunakan kata tanya mana untuk menanyakan tempat, dan digunakan kata tanya kapan untuk menanyakan waktu.
Contoh (24) tersusun dari yang tidak santun sampai pada yang santun.
(24)      - Apa isi peti itu?
            - Isi peti itu apa?
            - Dapatkah Anda menjelaskan apakah isi peti itu?
            - Kalau Anda berkenan, apakah isi peti itu?
            - Kalau saya boleh tahu dan Anda tidak berkeberatan, apakah isi peti itu?
3. Menanyakan meminta alasan
Tuturan dengan fungsi menanyakan meminta alasan dilakukan dalam kalimat bermodus interogatif serta digunakan kata tanya mengapa atau kenapa.
Contoh (28) disusun dari yang tidak santun sampai pada yang santun.
(28)      - Mengapa mantan anggota DPR itu dilaporkan ke Polisi?
              - Bisa Anda jelaskan, mengapa mantan anggota DPR itu dilaporkan ke Polisi?
            - Bolehkah saya tahu, mengapa mantan anggota DPR itu dilaporkan ke Polisi?
- Kalau Anda tidak berkeberatan, bolehkah saya tahu mengapa mantan anggota DPR itu dilaporkan ke polisi?
4. Menanyakan meminta pendapat
Tuturan dengan fungsi untuk menanyakan pendapat atau buah pikiran yang dilontarkan penutur kepada lawan tutur dilakukan dalam kalimat bermodus interogatif. Dalam hal ini biasanya digunakan kata tanya bagaimana.
Contoh (29) disusun dari yang tidak santun sampai pada tuturan yang santun.
(29)      - Bagaimana kiat Anda untuk membuat rakyat sejahtera?
            - Dapatkah Anda jelaskan, bagaimana kiat Anda untuk membuat rakyat sejahtera?
            - Bolehkah saya ketahui, kalau nanti Bapak terpilih jadi bupati, bagaimana kiat Bapak untuk  membuat rakyat sejahtera?
        - Bolehkah saya ketahui, dan kalau Bapak tidak keberatan bagaimana kiat Bapak untuk membuat rakyat sejahtera?

5. Menanyakan meminta kesungguhan
Tuturan dengan fungsi menanyakan untuk menyungguhkan atau mengiyakan pendapat penutur yang diajukan kepada lawan tutur biasanya digunakan kalimat interogatif yang disertai kata bukan sebagai penegas. Dalam tuturan ini penutur sudah mempunyai pengetahuan terhadap keadaan lawan tutur, lalu di sini ingin ditegaskan kebenarannya.
Contoh (30) dari tuturan yang santun.
(30)      - Kamu sudah punya anak, bukan?
            - Saudara sudah punya anak, bukan?
            - Anda sudah punya anak, bukan?
            - Bapak sudah punya anak, bukan?

1.1.1.6  Kesantunan
Depdiknas (2007:997) mendefenisikan santun adalah “Halus dan baik (budi bahsanya, tingkah lakunya)”. Lakoff dalam Mawene dan Setiawati (2011:830) mendefenisikan kesantunan sebagai sitem hubungan interpersonal yang dirancang untuk mempermudah interaksi dengan memperkecil potensi bagi terjadinya konflik dan konfronitasi yang selalu ada dalam pergaulan antar manuasia. Dalam hubungannya dengan fungsi bahasa, batasan kesantuan tadi mengacu kepada perihal pemilihan dan penggunaan bahasa yang halus, baik, dan sopan demi membangun serta memelihara interaksi interpersonalnya.
1.1.1.7  Skala Kesantunan Robin Lakoff
                        Chaer (2010:63) menyatakan, “Skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai pada yang paling santun. Lakoff dalam Chaer (2010:63) menyatakan ada tiga ketentuan untuk terpenuhi kesantunnya di dalam bertutur. Ketiga ketentuan itu adalah (a) skala formalitas (formality scale); (b) skala ketidaktegasan (hesitency scale); dan (c) skala kesekawanan (equality scale). Berikut penjelasannya:
a)                  Skala formalitas (formality scale) menyatakan bahwa agar peserta pertuturan (penutur dan lawan tutur) merasa nyaman dalam kegiatan bertutur, maka tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh terkesan angkuh. Di dalam pertuturan, masing-masing peserta pertuturan harus saling menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan sealamiah mungkin antara yang satu dengan yang lain. Simak tuturan (49) dan (50) berikut!
(49) Anda harus menyelesaikan tugas ini nanti sore.
(50) Saya dapat menyelesaikan tugas itu sekarang juga kalau saya mau.
Tuturan (49) terasa memaksa lawan tutur. Untuk tidak terkesan memaksa mungkin harus dilakukan dengan tuturan (51) berikut:
(51) Dapatkah Anda menyelesaikan tugas ini nanti sore?
Lalu tuturan (50) terasa sombong didengar oleh lawan tutur. Untuk tidak terasa sombong barangkali harus dituturkan, misalnya sebagai tuturan (52) berikut:
(52) Dengan bantuan teman-teman barangkali saya dapat menyelesaikan tugas ini dalam waktu singkat.
b)                  Skala ketidaktegasan disebut juga skala pilihan (optionality scale) menunjukkan agar penutur dan lawan tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur, maka pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Kita tidak boleh bersikap terlalu tegang atau terlalu kaku dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun. Untuk memperjelas uraian di atas, dapat dilihat contoh berikut ini yang dirujuk dari (Solina, 2013:111)
            Situasi 1 : Tuturan antara jaksa dengan terdakwa di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada hari kamis tanggal 18 Agustus 2011 (pukul 10.25 WIB). Tuturan tersebut terjadi di ruang sidang dalam kasus sengketa tanah. Jaksa mempertanyakan kronologis pemeriksaan kasus atau penyelidikan dan penyidikan.
            Peristiwa Tuturan
            Jaksa                : “Kepada Bapak dijelaskan atau dibacakan?” (6)
            Terdakwa        : “Dibacakan” (7)
            Jaksa                : “Setelah dibacakan kemudian Pak Haji tanda tangan?” (8)
            Terdakwa        : “Iya” (9)
Tuturan (6 dan 8) di atas bila dilihat dari skala kesantunan, tuturan (6 dan 8) dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang santun karena tidak kaku, tidak terkesan marah dan memberikan pilihan kepada lawan tutur. Tuturan (7 dan 9) merupakan tuturan yang tidak santun dikarenakan penutur menuturkan tuturan yang terkesan kaku dan tidak adanya pilihan yang diberikan kepada lawan tutur yakni menjawab pertanyaan jaksa dengan jawaban seadanya.

c)                  Skala kesekawanan menunjukkan bahwa agar dapat bersifat santun, kita harus selalu bersikap ramah dan harus selalu mempertahankan persahabatan antara penutur dan lawan tutur. Penutur harus selalu menganggap bahwa lawan tutur adalah sahabat, begitu juga sebaliknya. Rasa persahabatan ini merupakan salah satu prasyarat untuk tercapainya kesantunan. Untuk memperjelas uraian di atas, dapat dilihat contoh berikut ini yang dirujuk dari (Solina, 2013:129-130)
Situasi 2 : Terjadinya tuturan jaksa dengan terdakwa di Pengadilan Negeri Pekanbaru, si jaksa mempertanyakan masalah batas-batas tanah dan luas tanah yang disengketakan kepada terdakwa di ruang sidang pada menit 1 detik 29.
Peristiwa Tutur
Jaksa                : “Pak Rusli tahu yang dipersoalkan sekarang?” (10)
Terdakwa        : “Tahu” (11)
Jaksa                : “Mengenai apa?” (12)
Terdakwa        : “Sengketa tanah” (13)
Tuturan (11, 12 dan 13) di atas bila dilihat dari skala kesantunan, semua tuturan di atas dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun karena penutur tidak memberikan tuturan yang membuat lawan tutur nyaman atau tidak tenang dan bersikap tidak ramah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Prosedur

Konsep Teknologi Perkantoran

Frase